Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Dampak Keluarga Broken Home dalam Perkembangan Anak

Dampak keluarga Broken Home  dalam perkembangan anak 

Keluarga ialah terdiri dari ayah da ibu yang saling membantu dalam melaksanakan tanggung jawab secara tidak terpisah. Menurut Sayet (1994) keluarga merupakan sesuatu persetujuan hidup yang didasari dengan perkawinan antara orang yang telah cukup usia yang berlawan jenis. Bustaman (2001) mengemukakan kelompok-kelompok yang telah dipersatukan dengan perkawinan yang membentuk ikatan melalui peran tersendiri sebagai satu keluarga dan mempertahankan kebudayaan masyarakat dan menciptakan kebudayaan itu sendiri.

Adapaun para ahli lain seperti Siti Meichati (1994) berpendapat keluarga adalah ikatan hidup atas dasar perkawinan orang dewasa yang berlawanan jenin atau seseorang yang seseorang yang memiliki anak atau tidak memiliki anak sendiri (adopsi) tinggal dalam dalam sebuah rumah. Kartini kartono (2003) mengemukakan keluarga merupakan unit sosial terkeci dalam masyarakat yang merupakan pondasi pertama dalam perkembangan anak. Oleh karena pendapat para ahli ini dapat kita simpulkan keluarga merupakan suatu kelompok sosial terkecil yang terikat dengan tali perkawinan dan terdiri dari ayah, ibu dan anak.

Dalam hal ini, kita akan mefokuskan pengaruh keluarga broken home dalam perkembangan anak.

Pengertian dan Keadaan Keluarga Broken Home

Dampak Keluarga Broken Hom


Tidak luput dari kenyataan yang ada bahwa semakin hari semakin banyak keluarga yang mengalami broken home. Beberapa kasus diantaranya mungkin disebabkan oleh perselingkuhan, perbedaan prinsip hidup, atau sebab-sebab lainnya yang bisa disebabkan oleh masalah internal maupun eksternal dari kedua belah pihak. Akan tetapi, yang jelas kasus-kasus broken home itu sama halnya dengan kasus-kasus sosial lainnya, yaitu sifatnya multifaktoral. Satu hal yang pasti, hubungan interpersonal diantara suami istri dalam keluarga broken home telah semakin memburuk. Kedekatan fisikal juga menjadi alasan bagi pasangan suami istri dalam menyikapi masalah broken home, meskipun dalam beberapa sumber disebutkan bahwa kedekatan fisik tidak mempengaruhi kedekatan personal antar individu. Inti dari semuanya adalah komunikasi yang baik antarpasangan. Dalam komunikasi ini, berbagai faktor kejiwaan termuat di dalamnya, sehingga patut mendapat perhatian utama.

Memburuknya komunikasi diantara suami istri ini seringkali menjadi pemicu utama dalam keluarga broken home. Oleh sebab itu, sangatlah penting rasa saling percaya, saling terbuka, dan saling suka diantara kedua pihak agar terjadi komunikasi yang efektif. Dalam keadaan ini, kematangan kepribadianlah yang menentukan penerimaan peran dari pasangan komunikasinya. Setiap individu dilahirkan dengan tipe kepribadian yang berbeda-beda oleh sebab itu saling pengertian antarpasangan juga sangatlah penting.

Dalam suasana keluarga yang broken home bukan hanya komunikasi yang memburuk, tetapi juga terdapat aspek yang tidak relevan dalam hubungan itu, sehingga menyebabkan berkurangnya ketertarikan antardiri pasangannya. Lemahnya ketertarikan ini bisa berdampak pada pengabaian sosial termasuk pengabaian afektif. Dalam hal ini, dapat diuraikan bahwa dalam keluarga yang broken home antarpasangan terjadi pelemahan rasa saling menilai secara positif, yang terjadi penilaian menjadi cenderung negatif antara satu pasangan dengan pasangannya.

Dari semua fenomena di atas, akan bisa berdampak pada perkembangan kejiwaan anak dalam keluarga itu. Remajalah yang dalam hal ini sangat rentan. Masa remaja, seperti yang dikatakan oleh Erickson bahwa masa remaja merupakan masa pencarian identitas. Pengaruh faktor broken home keluarga menjadi faktor negatif dalam penemuan identitas yang sehat, sehingga remaja cenderung mengalami fase kebingungan identitas. Perkembangan afeksi juga bisa mengalami hambatan. Hal ini dikarenakan adanya pengabaian dari orangtuanya. Lebih jauh, terdapat sifat-sifat penghambat perkembangan kepribadian yang sehat yang terwujud dalam kepribadian anak.

Ayah, ibu, dan anak adalah keluarga inti yang merupakan organisasi terkecil dalam kehidupan bermasyarakat. Pada hakikatnya, keluarga merupakan wadah pertama dan utama bagi perkembangan dan pertumbuhan anak. Di dalam keluarga, anak akan mendapatkan pendidikan pertama mengenai berbagai tatanan kehidupan yang ada di masyarakat. Keluargalah yang mengenalkan anak akan aturan agama, etika sopan santun, aturan bermasyarakat, dan aturan-aturan tidak tertulis lainnya yang diharapkan dapat menjadi landasan kepribadian anak dalam menghadapi lingkungan. Keluarga juga yang akan menjadi motivator terbesar yang tiada henti saat anak membutuhkan dukungan dalam menjalani kehidupan.

Namun, melihat kondisi masyarakat saat ini, fungsi keluarga sudah mulai tergeser keberadaannya. Semua anggota keluarga khususnya orangtua menjadi sibuk dengan aktivitas pekerjaannya dengan alasan untuk menafkahi keluarga. Peran ayah sebagai kepala keluarga menjadi tidak jelas keberadaannya, karena seringkali ayah zaman sekarang bekerja di luar kota dan hanya pulang satu minggu sekali ataupun pergi pagi dan pulang larut malam. Ibulah yang menggantikan peran ayah di rumah dalam mendidik serta mengatur seluruh kepentingan anggota keluarganya.

Masalah akan semakin berkembang tatkala ibupun menjadi seorang wanita pekerja dengan beralih membantu perekonomian keluarga ataupun berambisi menjadi wanita karir, sehingga melupakan anak dan keluarganya. Banyak ditemukan ibu menjadi seorang super woman yang bekerja dua puluh empat jam sehari tanpa henti, barangkali waktu istirahat ibu hanyalah beberapa jam dalam sehari. Itupun jika ibu mampu dengan cerdas mengelola waktu bekerja di luar rumah dan bekerja di rumah tangganya. Ketika ayah dan ibu sibuk dengan aktivitasnya masing-masing, lalu ke manakah anak-anak mereka? Anak yang seharusnya memiliki hak mendapatkan kehangatan dalam keluarganya.

Kecenderungan yang terjadi, keluarga menjadi pecah dan tidak jelas keberadaannya. Ketika ayah dan ibu sudah tidak dapat berkomunikasi dengan baik, karena kesibukan masing-masing atau karena egonya, maka mereka memilih untuk bercerai. Namun, di saat orang tua dapat mempertahankan keluarganya secara utuh tanpa ada komunikasi yang hangat antara anggota keluarganya, secara psikologis merekapun bercerai.

Oleh karena orangtua tidak punya waktu banyak untuk berdialog, berdiskusi atau bahkan hanya untuk saling bertegur sapa. Saat orang tua pulang bekerja, anak sudah tertidur dengan lelapnya dan saat anak terbangun tidak jarang orang tua sudah pergi bekerja atau anaknya yang harus pergi ke sekolah. Ketika anak protes dan mengeluh, orangtua hanya cukup memberikan pengertian bahwa ayah dan ibu bekerja untuk kepentingan anak dan keluarga juga. Orang tua zaman sekarang sering merasa kesulitan mengerti keinginan anaknya, tanpa mereka sadari bahwa orangtualah yang selalu membuat anak harus mengerti keadaan orang tuanya.

Anak yang broken home bukanlah hanya anak yang berasal dari ayah dan ibunya bercerai, namun anak yang berasal dari keluarga yang tidak utuh, dimana ayah dan ibunya tidak dapat berperan dan berfungsi sebagai orang tua yang sebenarnya. Tidak dapat dimungkiri kebutuhan ekonomi yang semakin sulit membuat setiap orang bekerja semakin keras untuk memenuhi kebutuhan hidup keluarganya. Namun, orangtua seringkali tidak menyadari kebutuhan psikologis anak yang sama pentingnya dengan memenuhi kebutuhan hidup. Anak membutuhkan kasih sayang berupa perhatian, sentuhan, teguran dan arahan dari ayah dan ibunya, bukan hanya dari pengasuhnya atau pun dari nenek kakeknya.

Perhatian yang diperlukan anak dari orang tuanya adalah disayangi dengan sepenuh hati dalam bentuk komunikasi verbal secara langsung dengan anak, meski hanya untuk menanyakan aktivitas sehari-harinya. Menanyakan sekolahnya, temannya, gurunya, mainannya, kesenangannya, hobinya, cita-cita dan keinginannya. Ada anak di sekolah yang merasa aneh, jika temannya mendapatkan perhatian seperti itu dari orang tuanya, karena zaman sekarang hal tersebut menjadi sangat mahal harganya dan tidak semua anak mendapatkannya.

Anak sangat membutuhkan sentuhan dari orang tuanya, dalam bentuk sentuhan hati yang berupa empati dan simpati untuk membuat anak menjadi peka terhadap lingkungannya. Selain itu, belaian, pelukan, ciuman, kecupan, dan senyuman diperlukan untuk membuat kehangatan jiwa dalam diri anak dan membantu anak dalam menguasai emosinya.

Arahan dibutuhkan oleh anak untuk memberikan pemahaman bahwa dalam kehidupan bermasyarakat ada aturan tidak tertulis yang harus ditaati dan disebut sebagai norma masyarakat. Norma agama, norma sosial, norma adat atau budaya dan norma hukum sebaiknya diberikan kepada anak sejak masih usia kecil. Dengan diberikannya pemahaman dalam usia sedini mungkin, diharapkan anak dapat menjadi warga masyarakat yang baik, khususnya saat anak mulai mengenal lingkungan selain keluarganya.

Jika anak melanggar norma tersebut, sudah merupakan kewajiban orangtua sebagai pendidik pertama bagi anak-anaknya untuk memberikan teguran yang disertai penjelasan logis sesuai dengan perkembangan usianya supaya anak mengerti dan memahami bagaimana bersikap dan berperilaku yang sesuai dengan norma-norma masyarakat.

Dampak dari keegoisan dan kesibukan orang tua serta kurangnya waktu untuk anak dalam memberikan kebutuhannya menjadikan anak memiliki karakter

Dampak Broken Home terhadap Perkembangan Kejiwaan Anak

Dampak pada anak-anak pada masa ketidakharmonisan, belum sampai bercerai namun sudah mulai tidak harmonis:

1.  Anak mulai menderita kecemasan yang tinggi dan ketakutan.

2.  Anak merasa jerjepit di tengah-tengah, karena harus memilih antara ibu atau ayah.

3.  Anak sering kali mempunyai rasa bersalah.

4.  Kalau kedua orangtuanya sedang bertengkar, itu memungkinkan anak bisa membenci salah satu orang tuanya.

Dalam rumah tangga yang tidak sehat, yang bermasalah dan penuh dengan pertengkaran-pertengkaran bisa muncul 3 kategori anak:

1.  Anak-anak yang memberontak yang menjadi masalah diluar. Anak yang jadi korban keluarga yang bercerai itu menjadi sangat nakal sekali.

2.   Selain itu, anak korban perceraian jadi gampang marah karena mereka terlalu sering melihat orang tua bertengkar. Namun kemarahan juga bisa muncul karena:

Dia harus hidup dalam ketegangan dan dia tidak suka hidup dalam ketegangan.

Dia harus kehilangan hidup yang tenteram, yang hangat, dia jadi marah pada orang tuanya kok memberikan hidup yang seperti ini kepada mereka.

Waktu orang tua bercerai, anak kebanyakan tinggal dengan mama, itu berarti ada yang terhilang dalam diri anak yakni figur otoritas, figur ayah.

3.  Anak-anak yang bawaannya sedih, mengurung diri, dan menjadi depresi. Anak ini juga bisa kehilangan identitas sosialnya.

Gangguan Kejiwaan pada Seorang Broken Home :

1.  Broken Heart

Si pemuda merasakan kepedihan dan kehancuran hati sehingga memandang hidup ini sia-sia dan mengecewakan. Kecenderungan ini membentuk si pemuda tersebut menjadi orang yang krisis kasih dan biasanya lari kepada yang bersifat keanehan sexual. Misalnya sex bebas, homo sex, lesbian, jadi simpanan orang, tertarik dengan istri atau suami orang lain dan lain-lain.

2.  Broken Relation

Si pemuda merasa bahwa tidak ada orang yang perlu di hargai, tidak ada orang yang dapat dipercaya serta tidak ada orang yang dapat diteladani. Kecenderungan ini membentuk si pemuda menjadi orang yang masa bodoh terhadap orang lain, ugal-ugalan, cari perhatian, kasar, egois, dan tidak mendengar nasihat orang lain, cenderung “semau gue”.


3.  Broken Values 

Si pemuda kehilangan ”nilai kehidupan” yang benar. Baginya dalam hidup ini tidak ada yang baik, benar, atau merusak yang ada hanya yang ”menyenangkan” dan yang ”tidak menyenangkan”, “pokoknya apa saja yang menyenangkan saya lakukan, apa yang tidak menyenangkan tidak saya lakukan.”

Efek-efek Kehidupan Seorang Broken Home :

1.  Academic Problem, seseorang yang mengalami Broken Home akan menjadi orang yang malas belajar dan tidak bersemangat serta tidak berprestasi.

2.  Behavioural Problem, mereka mulai memberontak, kasar, masa bodoh, memiliki kebiasaan merusak, seperti mulai merokok, minum-minuman keras, judi dan lari ketempat pelacuran.

3.  Sexual problem, krisis kasih mau coba ditutupi dengan mencukupi kebutuhan hawa nafsu.

4.  Spiritual problem, mereka kehilangan Father’s figure sehingga tuhan, pendeta atau orang-orang rohani hanya bagian dari sebuah sandiwara kemunafikan.

Cara Membangkitkan Motivasi Anak Korban Broken Home

cara membangkitan motivasi anak broken Home


Bagi anak-anak mempunyai keluarga yang utuh adalah hal yang sangat membahagiakan. Mereka tidak pernah membayangkan bahwa akan mengalami sebuah perceraian dalam keluarganya. Keadaan psikologi anak akan sangat terguncang karena adanya perceraian dalam keluarga. Mereka akan sangat terpukul, kehilangan harapan, dan cenderung menyalahkan diri sendiri atas apa yang terjadi pada keluarganya. Sangat sulit menemukan cara agar anak-anak merasa terbantu dalam menghadapi masa-masa sulit karena perceraian orang tuanya. Sekalipun ayah atau ibu berusaha memberikan yang terbaik yang mereka bisa, segala yang baik tersebut tetap tidak dapat menghilangkan kegundahan hati anak-anaknya.

Beberapa psikolog menyatakan bahwa bantuan yang paling penting yang dapat diberikan oleh orang tua yang bercerai adalah mencoba menenteramkan hati dan meyakinkan anak-anak bahwa mereka tidak bersalah. Yakinkan bahwa mereka tidak perlu merasa harus ikut bertanggung jawab atas perceraian orangtuanya. Hal lain yang perlu dilakukan oleh orang tua yang akan bercerai adalah membantu anak-anak untuk menyesuaikan diri dengan tetap menjalankan kegiatan-kegiatan rutin di rumah. Jangan memaksa anak-anak untuk memihak salah satu pihak yang sedang cekcok, dan jangan sekali-sekali melibatkan mereka dalam proses perceraian tersebut.  Hal lain yang dapat membantu anak-anak adalah mencarikan orang dewasa lain seperti bibi atau paman, yang untuk sementara dapat mengisi kekosongan hati mereka setelah ditinggal ayah atau ibunya. Maksudnya, supaya anak-anak merasa mendapatkan topangan yang memperkuat mereka dalam mencari figur pengganti ayah ibu yang tidak lagi hadir seperti ketika belum ada perceraian.

.    Peran Orang Tua terhadap Perkembangan Kejiwaan Anak

Perceraian selalu berdampak buruk dan terasa amat pahit bagi anak-anak. Dan ini jelas memberikan perasaan sedih serta takut pada diri anak. Sehingga, ia akan tumbuh dengan jiwa yang tidak sehat. Berikut ini beberapa saran untuk mengatasi kesedihan anak dalam melewati proses perceraian orang tuanya:

Dukung anak anda untuk mengungkapkan perasaan mereka, baik yang positif maupun negatif, mengenai apa yang sudah terjadi. Sangatlah penting bagi orang tua yang akan bercerai ataupun yang sudah bercerai untuk memberi dukungan kepada anak-anak mereka serta mendukung mereka untuk mengungkapkan apa yang mereka pikirkan dan rasakan. Dalam hal ini Anda tidak boleh melibatkan perasaan anda. Seringkali terjadi, perasaan akan kehilangan salah satu orang tua akibat perceraian menyebabkan anak-anak menyalahkan salah satu dari kedua orang tuanya (atau kedua-duanya) dan mereka merasa dikhianati. Jadi, anda harus betul-betul siap untuk menjawab setiap pertanyaan yang akan diajukan anak anda atau keprihatinan yang mereka miliki.

Beri kesempatan pada anak untuk membicarakan mengenai perceraian dan bagaimana perceraian tersebut berpengaruh pada dirinya. Anak-anak yang usianya lebih besar, tanpa terduga, bisa mengajukan pertanyaan dan keprihatinan yang berbeda, yang tidak pernah terpikirkan sebelumnya olehnya. Meski mengejutkan dan terasa menyudutkan, tetaplah bersikap terbuka.

Bila anda merasa tidak sanggup membantu anak, minta orang lain melakukannya. Misalnya, sanak keluarga yang dekat dengan si anak.

Sangatlah wajar bagi anak-anak jika memiliki berbagai macam emosi dan reaksi terhadap perceraian orang tuanya. Bisa saja mereka merasa bersalah dan menduga-duga, merekalah penyebab dari perceraian. Anak-anak marah dan merasa ketakutan. Mereka khawatir akan ditelantarkan oleh orang tua yang bercerai.

Ada anak-anak yang sanggup untuk menyuarakan perasaan mereka, dan ada juga yang tidak. Hal ini tergantung dari usia dan perkembangan mereka. Untuk anak-anak usia sekolah, jelas sekali perceraian mengakibatkan turunnya nilai pelajaran mereka di sekolah. Walaupun untuk beberapa lama anak-anak akan berusaha mati-matian menghadapi perceraian orangtuanya, pengaruh nyata dari perceraian biasanya dirasakan anak berusia 2 tahun ke atas.

Jangan menjelek-jelekan mantan pasangan di depan anak walaupun anda masih marah atau bermusuhan dengan bekas suami. Hal ini merupakan salah satu yang sulit untuk dilakukan tapi anda harus berusaha keras untuk mencobanya. Jika hal itu terus saja anda lakukan, anak akan merasa, ayah atau ibunya jahat, pengkhianat, atau pembohong. Pada anak tertentu, hal itu akan menyebabkan ia jadi dendam dan bahkan bisa trauma untuk menikah karena takut diperlakukan serupa.

Anak-anak tidak perlu merasa mereka harus bertindak sebagai “penyambung lidah” bagi kedua orangtuanya. Misalnya, anda berujar, “Bilang, tuh, sama ayahmu, kamu sudah harus bayaran uang sekolah.”

Minta dukungan dari sanak keluarga dan teman-teman dekat. Orangtua tunggal memerlukan dukungan. Dukungan dari keluarga, sahabat, atau pemuka agama, yang dapat membantu anda dan anak anda untuk menyesuaikan diri dengan perpisahan dan perceraian. Hal lain yang juga dapat menolong adalah memberi kesempatan kepada anak-anak untuk bertemu dengan orang lain yang telah berhasil melewati masa-masa perceraian dengan baik.

Bilamana mungkin, dukung anak-anak agar memiliki pandangan yang positif terhadap kedua orang tuanya. Walaupun pada situasi yang baik, perpisahan dan perceraian dapat sangat menyakitkan dan mengecewakan bagi kebanyakan anak-anak. Dan tentu saja secara emosional juga sulit bagi para orang tua.



Indra Saepul Rizky Indra Saepul Rizky, adalah Tenaga Kependidikan UPTD SDN Ratujaya 1 yang tertarik dengan Psikologi siswa. Ketertarikannya didukung dengan mengambil jurusan Bimbingan Konseling di Universitas Pendidikan Negeri Jakarta. Artikel-artikel tentang psikologi adalah minatnya yang membantu warga SDN Ratujaya 1 dapat menambah informasi mengenai tentang seluk beluk konseling.
Syahandrian Eda
Syahandrian Eda Seorang pelajar yang tak berhenti untuk belajar

Post a Comment for "Dampak Keluarga Broken Home dalam Perkembangan Anak"